PENDAHULUAN
Pola konservativisme selalu menjadi hantu dalam ranah apapun
dan dalam ruang lingkup pembicaraan apapun. Konservatifisme memandang bahwa apa
yang telah ada adalah selalu yang terbaik dari yang baru. Hal tersebut terjadi
di segala bidang. Termasuk dalam bidang pendidikan utamanya pemikiran tentang
pola pembelajaran di sekolah. Kita kadang-kadang telah mengedepankan ego dibanding
menerima suatu perubahan yang kreatif dan knstruktif. Permasalahan tersebut
bukannya tidak kita sadari akan tetapi karna kita belum berhasil keluar dari
konteks ego itu sendiri.
Sebagai manusia sekiranya semua sependapat bahwa kita
sebagai guru selalu kesulitan berfikir kreatif dan keluar dari konteks ego
tersebut sehingga memerlukan beberapa latihan mental agar terbiasa dengan
perubahan yang senantiasa menghampiri kita. Demikian halnya dengan saat kita
membelajarkan IPA di SD. Barangkali semua juga sepakat bahwa kita sudah tahu
berbagai jenis metode dan media sudah tersedia di lingkungan sekitar kita. Akan
tetapi sikap laten yang mengandalkan penggunaan satu metode adalah layak sudah
mendarah daging pada diri kita.
Permasalahan seperti diuraikan di atas adalah permasalahan
umum dari kita para guru, berbagai pelatihan, workshop sudah kita lalui akan
tetapi kita selalu saja menyalahkan peserta didik atas kegagalan mereka dalam
melaksanakan evaluasi. Kita sangat jarang melakukan kegiatan merenung dan
refleksi bahwa ada hal yang salah dengan kita. Sudah sangat banyak kita
mengenal metode dan pendekatan dari CBSA hingga hingga Quantum Teaching (yang
terbaru). Dan bahkan hal tersebut juga terlampau sering kita dengarkan.
Sesungguhnya semua ber-esensi sama yaitu menempatkan peserta didik sebagai
subyek pembelajaran. Yang belajar bukan guru, guru hanya sebagai fasilitator.
Permasalahan di atas adalah permasalahan umum, dan yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah :
Adakah
suatu metode dan pendekatan yang dapat mewakili berbagai jenis metode dan
pendekatan tersebut ? Sehingga guru tidak bingung memilih karna seolah-olah
antar metode tersebut ada batasan padahal batasannya sangat kabur.
Seandainya
ada bagaimanakah implementasinya di lapangan ?
Seandainya
belum ada kemudian oleh penulis sendiri membuatnya menjadi ada, apakah kemudia
di akui atau malah dikatakan mengada-ada ?
PEMBAHASAN
Sesuai dengan judul di atas “ Pembelajaran IPA Secara
Holistik”, penulis mencoba ber-ide, mencoba untuk keluar dari konteks
pembeicaraan pada modul yang sudah penulis baca yaitu tentang “Konstruktifisme
dalam Pembelajaran IPA, Bekerja Ilmiah dalam IPA, Pendekatan Pembelajaran Sains
(IPA) Teknologi dan Masyarakat/Lingkungan (STM). Dan penulis berkesimpulan
bahwa intinya adalah sama yaitu menjadikan peserta didik sebagai subyek
pembelajaran, memberdayakan peserta didik, membelajarkan peserta didik dan
istilah kostruktif lainnya.
Pembelajaran yang bersifat menjadikan peserta didik sebagai
subyek pembelajaran membawa situasi kelas dipenuhi oleh kegiatan dimana peserta
didik adalah pelaku dari berbagai kegiatan baik eksperimen, demonstrasi,
diskusi dan sebagainya. Memberdayakan peserta didik maksudnya adalah guru
bertugas menggali seluruh potensi peserta didik tanpa memandang perbedaan jenis
kelamin, perbedaan tingkat IQ, dan perbedaan yang lainnya. Membelajarkan peserta
didik adalah suatu kegiatan yang menempatkan peserta didik yang sedang belajar.
Istilah konstruktif lainnya adalah CTL, CBSA, Quantum Teaching, dan beberapa
nama keren lainnya. Padahal esensinya sama yaitu peserta didik adalah subyek
pembelajaran.
Pembelajaran Holostik pada mata pelajaran IPA membawa guru
pada suatu kondisi pembelajaran yang bersifat konstruktif. Maka yang dapat
melakukan hal ini adalah guru yang berpandangan konstruktif. Siapa mereka ?
Mereka yang sadar bahwa peserta didik akan belajar optimal jika semuanya berawal
dari keinginan peserta didik untuk belajar. Sehingga kita akan mengkondisikan
kelas sedemikian rupa agar peserta didik mau belajar. Bukan karna paksaan.
Apakah hal ini mudah ? Tentu tidak karna kita berhadapan dengan puluhan kepala
yang isi kognitif, afektif, psikomotor dan datang dari latar belakang yang
beragam. Kita pasti sepakat bahwa mencari yang baik pasti sulit.
Pembelajaran IPA dengan pendekatan yang holistik
sesungguhnya adalah positif yaitu guru tidak akan pernah terbebani dengan jenis
dan batasan metode yang mesti dilakukan dan ditulis dalam RPP. Kita menyiapkan
bahan, media dan masuk ke kalas dan melakukan apersepsi. Lihat kondisi kelas
apakah sudah kondusif ? Kalau belum berikan motivasi dengan berbagai cara yang
kreatif apakah itu cerita, permainan, menyanyi, diskusi dan tanyakan masalahnya
apa. Disanalah gunanya pendekatan yaitu untuk mendekati peserta didik agar mau
belajar. Caranya ya terserah guru itu sendiri. Lalu pertanyaannya bagaimana
dengan alokasi waktu yang membatasi di RPP ? Abaikan dulu hal tersebut karna
RPP itu adalah rencana, dimana kalau tidak tercapai adalah hal biasa karna
kadang situasi kelas tidak sesuai dengan harapan.
Jika peserta didik sudah mau belajar lanjutkan dengan
kegiatan yang mengedepankan peserta didik sebagai subyek yaitu dengan
memberikan tugas. Tugas yang diberikan adalah yang bersifat konstruktif bukan
memberi beberapa soal lalu guru meninggalkan kelas. Pada IPA dapat diberikan
berupa sekumpilan tugas yang bersifat berkelanjutan seperti proyek. Langkahnya
dari mereka merencanakan, melaksanakan hingga melaporkan. Misalnya peserta
didik kita belajarkan tentang perkembangbiakan tumbuhan maka mereka akan
merencanakan menyediakan bahan seperti bibit dan alat alat pertanian.
Pelaksanaan dapat dilakukan di kebun sekolah. Setelah kegiatan selesai peserta
didik ditugaskan untuk mengamati perkembangan dari tanaman setelah ditanam dan
hasil pengamatannya dilaporkan kepada guru.
Dengan model seperti itu kita tidak dapat mengatakan kita
melakukan pembelajaran dengan metode dan pendekatan tertentu akan tetapi
menyeluruh sehingga penulis istilahkan sebagai pendekatan holistik. Semua
materi pembelajaran IPA lainnya dapat mengadopsi pendekatan tersebut karna guru
tidak lagi berfikir tentang batasan metode apa yang akan mereka gunakan akan
tetapi mereka berfikir akan di apakan peserta didik kita. Guru dalam
membelajarkan peserta didik tidak perlu mengingat batasan pengertian suatu
metode akan tetapi cukup dengan mengingat bahwa peserta didik kita akan
diapakan agar dapat belajar efektif.
Permasalahan sebenarnya adalah ada pada paham yang dianut
guru tersebut. Apabila guru tersebut tidak berfikiran terbuka, behavioristik
dan konservatif maka walaupun mereka mengenal istilah dan batasan berbagai
metode maka yang terjadi adalah situasi pembelajaran yang dipaksakan karna guru
dalam hal ini masih berkeingingan untuk dominan. Guru tidak berfikir apa yang
akan peserta didik dapatkan jika pembelajarannnya seperti ini akan tetapi
mereka akan berfikir bagaimana mengajar mereka agar mengerti. Sehingga jika peserta
didik gagal dalam evaluasi yang disalahkan adalah peserta didik. Jika guru
berfikir seperti yang pertama di atas maka guru akan berkata “Wah ada yang
salah dengan saya”. Hal itulah yang membedakan guru yang berpaham behavioristik
dengan guru yang menganut paham konstruktifistik.
Jalan keluar yang mungkin kita harus coba bersama untuk
mengatasi masalah tersebut adalah :
Berfikirlah
bahwa peserta didik adalah yang akan belajar.
Berfikirlah
bahwa peserta didik dapat belajar jika mereka mau belajar
Berfikirlah
bahwa peserta didik dapat belajar jika ada bahan yang akan dipelajari
Jika gagal
lakukan refleksi
Belajar
yang baik adalah bersama-sama karna akan saling isi mengisi
Berfikirlah
bahwa guru bukan untuk ditakuti akan tetapi disegani
Hindari
pemikiran guru selalu benar.
Jadikan peserta
didik menjadi teman bukan murid.
Berdirilah
disampingnya saat membimbing bukan berkacak pinggang di depannya.
Kalau guru
kesal dan marah berikan arahan dan posisikan diri sejajar dengan peserta didik
terlebih dahulu baru kemudian berikan pesan.
Kesimpulannya
adalah jadilah guru yang manusiawi
Dengan menerapkan metode holistik apakah kemudian menjadi
salah karna alasan tidak pernah ada dan didengar dalam konteks teori belajar
yang sudah di akui. Kalau kita semua berfikir bahwa segala sesuatu terus
berubah barangkali kita sepakat bahwa tidak ada salahnya kita memberi nama apa
yang sudah kita lakukan dengan sarat semua itu tidak keluar dari esensi dan
prinsip yang ada. Kita mungkin sudah pernah belajar tentang mata kuliah inovasi
dan inovasi pendidikan. Maka apakah ada salahnya kalau kita berinovasi ?
Bebagai pendekatan dan metode yang sudah kita kenal
sesungguhnya esensinya sama yaitu menjadikan peserta didik sebagai subyek
pembelajaran. Akan teapi implementasi di lapangan yang sulit. Walaupun kita
mengatakan diri sudah konstruktif akan tetapi sesungguhnya terkadang kita
bertindak sebaliknya yaitu behavioristik. Dalam pelaksanaan pembelajaran kita
hendaknya bertindak manusiawi.
Jika
hal tersebut sudah dilaksanakan maka peserta didik akan termotivasi untuk
belajar karna mereka dalam keadaan bebas dari tekanan apapun saat belajar. Hal
tersebut akan berdampak pada meningkatnya kemauan peserta didik untuk belajar
dan selanjutnya berakhir dengan hasil belajar yang memuaskan.
KESIMPULAN
Permasalahan pembelajaran IPA di SD sering dihadapakan pada
pola pembelajaran yang behavioristik. Hal tersebut sesungguhnya disadari oleh
guru akan tetapi sulit dirubah karna kita masih sering mengedepankan sikap ego.
Kesulitan merubah kebiasaan tersebut masih kita rasakan termasuk penulis
sendiri.
Bebagai pendekatan dan metode yang sudah kita kenal
sesungguhnya esensinya sama yaitu menjadikan peserta didik sebagai subyek
pembelajaran. Akan teapi implementasi di lapangan yang sulit. Walaupun kita
mengatakan diri sudah konstruktif akan tetapi sesungguhnya terkadang kita
bertindak sebaliknya yaitu behavioristik. Dalam pelaksanaan pembelajaran kita hendaknya
bertindak manusiawi.
Jika hal tersebut dudah dilaksanakan maka peserta didik akan
termotivasi untuk belajar karna mereka dalam keadaan bebas dari tekanan apapun
saat belajar. Hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya kemauan peserta
didik untuk belajar dan selanjutnya berakhir dengan hasil belajar yang
memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar